Devi Nurjayanti
15109001
Hubungan
Internasional
Militer Thailand Saat Pemerintahan PM Thaksin
Shinawarta
Thailand
merupakan salah satu negara yang tidak pernah mengalami penjajahan dari kolonial.
Tidak seperti negara tetangga, negara satu kawasan, Asia Tenggara. Tetapi,
sejarah politik Thailand selalu dipenuhi oleh kudeta militer. Dalam kurun waktu
sekitar 74 tahun militer mengambil alih kekuasaan telah terjadi 23 kali. Ini
berarti menandakan bahwa pemerintahan sipil-militer di Thailand sangat lemah.
Karena selalu dibayang-bayangi oleh militer yang selalu siap ambil alih
kekuasaan di saat-saat genting.
Kudeta
merupakan salah satu bentuk intervensi militer dalam politik. Dalam artian
lebih singkat, kudeta merupakan suatu proses penggulingan kekuasaan yang
dilakukan militer terhadap pemerintahan sipil. Di Thailand, kudeta mendapat
dukungan dari masyarakat serta sipil, dimana masyarakat selalu patuh kepada
militer, dan kudeta di Thailand sangat menyimpang dengan demokrasi.
Krisis politik yang
melanda Thailand sejak awal 2006 kini telah berakhir pada tanggal 20
September 2006. Aksi kudeta yang dipimpin oleh Jendral Sonthi Boonyaratglin,
Panglima AD dan muslim pertama yang menduduki jabatan tertinggi dalam jajaran
militer. Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Sonthi Boonyaratglin
akhirnya memimpin aksi kudeta militer tak berdarah dengan menduduki Kantor PM
Thailand yang dijabat oleh Thaksin Shinawatra yang pada saat kudeta berlangsung
sang PM sedang berada di New York untuk menghadiri Sidang Umum PBB.
Inilah saat-saat yang paling dinantikan oleh para militer. Ternyata sejarah
kudeta militer negeri Gajah Putih berlangsung lagi setelah absen dalam
perpolitikan Thailand sejak 1991.
Militer yang dipimpin Letnan Jendral Sonthi Boonyaratglin melakukan
beberapa langkah penting untuk menandai berakhirnya kekuasaan Thaksin, yaitu
mencari celah bagi militer di Thailand untuk kembali memasuki dunia politik. Shonthi juga mengkoordinasi dan
memberi komando kepada anak buahnya dengan membentuk Dewan Pembaruan
Administrasi (ARP). Dimana ARP bertugas
mengkoordinasi dan mengontrol para anak buah militer. Dewan ini sengaja
dibentuk oleh Sonthi apabila pemerintahan PM Thaksin berakhir. Strategi yang
dibuat oleh Shonthi ini memperlancar kudeta yang ia lakukan, sehingga
pemerintahan PM Thaksin tidak dipandang lagi oleh masyarakat. Kelanjutan dari
kudeta tersebut, Shonthi mencabut darurat sipil dan memberlakukan darurat
militer, membatalkan konstitusi 1997, membubarkan kabinet, parlemen dan
Mahkamah Agung.
Selain itu, alasan Shonthi melakukan kudeta karena militer menganggap
Thaksin gagal melakukan perbaikan kondisi dalam negeri. Thaksin dituduh sebagai
pemecah belah bangsa dan tidak mampu memberantas korupsi, bahkan Thaksin
sendiri pun terlibat korupsi. Ternyata Thaksin tidak bisa memenuhi janjinya
untuk menjalankan program anti-korupsi sebagai salah satu agenda utama
pemerintahnnya. Dia terlibat dalam penyalahgunaan wewenang, penggelapan pajak,
dan membeli suara saat pemilu. Thaksin
sendiri bahkan pernah diajukan ke pengadilan gara-gara masalah cronyism dan korupsi. Bahkan akhir-akhir ini
diketahui bahwa penjualan saham The Shin Corp milik keluarga Thaksin pun
dibebaskan dari pajak penjualan sehingga mendatangkan keuntungan 1,9 milyar
dollar bagi keluarganya.
Pengambilalihan
kekuasaan secara paksa oleh militer ini adalah demi menyelamatkan negara dari
perpecahan. Penunjukan Jendral Shonthi oleh Thaksin adalah dalam upaya
meredakan ketegangan yang terjadi di Thailand Selatan. Wilayah yang didominasi
oleh kaum Muslim ini sudah lama ingin memerdekakan diri dari Thailand. Langkah kontroversial yang dikeluarkan Thaksin adalah keputusannya
terhadap para separatis di Pattani, Yala dan Narathiwat, propinsi di bagian
Thailand selatan. Dalam upaya menyelesaikan konflik tersebut , Raja Thailand
menghimbau pemerintah untuk melakukan darurat militer sejak 5 Jnuari 2004.
Jendral Shonthi pun berselisih paham dengan Thaksin karena pemimpin militer ini
lebih memilih pendekatan politik daripada kekerasan. Akibatnya, konflik pemerintah
dengan militer pun tak terhindarkan. Jika militer tidak segera mengambil
langkah tegas, bukan tidak mungkin terjadi disintegrasi di Thailand.
Kesimpulan:
Militer Pretorian
yang terjadi di Thailand ini termasuk dalam kategori menurut Eric Nordlinger.
Pengawal Pretorian, dimana setelah pengawal pretorian atau militer pretorian
menggulingkan sebuah pemerintahan sipil,
maka mereka sendiri yang akan memegang tampuk pemerintahan untuk periode
dua hingga empat tahun. Militer
pretorian ini masih mempertahankan status quo dan meningkatkan atau mengubah
serta memperbaiki arah kebijaksanaan pemerintah sebelumnya, dan bahkan
melakukan perubahan sosial ekonomi dalam ukuran yang sangat minimal. Mereka
juga melakukan pemecatan ahli politik yang sering melakukan tindak pidana
korupsi dan berlaku curang dalam penyusunan struktur pemerintahan dan
administrasi serta pembagian kekuasaan dan fungsi ekonomi dikalangan-kalangan
kelompok sipil.
Sumber:
Nordlinger, Eric.
Militer Dalam Politik-Kudeta Dan Pemerintahan.
PT Rineka Cipta. Jakarta. 1994
Tidak ada komentar:
Posting Komentar